A. Hakikat Kemampuan Berbicara
1.
Pengertian Kemampuan
Memberi bekal kemampuan berhitung pada anak sejak dini untuk membekali
kehidupan anak di masa yang akan datang di rasa sangat penting. Istilah
kemampuan dapat didefinisikan dalam berbagai arti, salah satunya menurut
Munandar ( Ahmad susanto, 2011:97), “ kemampuan merupakan daya untuk melakukan
suatu tindakan sebagai hasil dari pembawaan dan latihan”.
Senada dengan
munandar, robin ( Ahmad Susanto,2011:9) menyatakan bahwa kemampuan merupakan
suatu kapasitas berbagai tugas dalam suatu pekerjaan tertentu. Dengan demikian,
kemampuan adalah potensi atau kesanggupan seseorang yang merupakan bawaan dari
lahir dimana potensi ata keanggupan ini dihasilkan dari pembawaan dan juga
latihan yang mendukung seseorang untuk menyelesaikan tugasnya.
(Hasan Alwi, 2003:145)
menyatakan dalamus besar bahasa Indonesia kemampuan berasal dari kata mampu
yang berarti bisa atau dapat, kemudian mendapat awalan ke- dan akhiran –an,
yang selanjutnya menjadi kata. Kemampuan mempunyai arti menguasai berasal dari
nomina yang sifatnya manasuka. Fathurohmah (2010, hal. 44) pengertian kemampuan
adalah kesanggupan, kecakapan, kekuatan, atau potensi bawaan sejak lahir atau
hasil latihan yang dapat digunakan untuk melakukan suatu perbuatan.
Menurut Robbins dalam
Universitas Kristen Petra, kemampuan bisa merupakan kesanggupan bawaan sejak
lahir, atau merupakan hasil latihan atau praktik. Ia mengatakan, bahwa
kemampuan (ability) adalah kecakapan
atau potensi menguasai suatu keahlian yang merupakan bawaan sejak lahir atau
merupakan hasil latihan atau praktik dan digunakan untuk mengerjakan suatu yang
diwujudkan melalui tindakannya ( abynajwa.blogspot.com diunduh pada tanggal 29
Oktober 2014).
Berdasarkan pendapat
diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan adalah kecakapan atau potensi
menguasai keahlian yang merupakan bawaan sejak lahir untuk melakukan tgas dalam
suatu pekerjaan. Kemampuan awal serta didikmerupakan prasarat yang diperlukan
peserta didik dalam mengikuti proes belajar mengajar selanjutnya. Proses
belajar mengajar kemampuan awal peserta didik dapat menjadi titik tolak untk
membekali peserta didik agar dapat mengembangkan kemampuan baru.
2.
Kemampuan Berbicara Melalui Metode Bermain Peran
Kemampuan yang diharapkan dalam penggunaan metode bermain peran dalam
meningkatkan kemampuan berbicara dapat dilaksanakan melalui penguasaan materi,
keterlibatan guru, pemberian motivasi pada anak, mengeksplorasi dan pengayaan.
Upaya peningkatan kemampuan berbicara melalui metode bermain peran
adalah sebagai berikut:
a.
Bermain Peran harus diberikan secara bertahap
dan tidak boleh menilai baik buruk terhadap peran yang dimainkan terutama dalam
hal perasaan anak didik;
b.
Guru harus mampu sebagai dinamisator
sehingga mampu mengeksplorasi
permasalahan dari berbagai dimensi dengan kata lain guru harus bisa menangkap
esensi dan pandangan peserta didik, merefleksinya dan menyesuaikannya dengan
baik;
c.
Anak didik harus dibuka wawasannya karena
terdapat beberapa alternatif pemeran dalam suatu alur cerita dengan konsekuensi
yang menyertainya,
d.
Mengkaji ketepatan masalah.( Nurbiana, 2005, 7.6
)
Dengan diterapkannya metode
bermain peran diharapkan akan dapat meningkatkan kemampuan anak dalam berbicara
dan kegiatan pembelajaran akan menyenangkan, tidak membosankan, belajar dengan
bergairah dengan menggunakan berbagai sumber belajar, anak aktif dan kreatif.
B. Pengertian Metode Bermain Peran
1.
Pengertian Bermain Peran
Peran dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian perasaan, ucapan dan
tindakan, sebagai suatu pola hubungan unik yang ditunjukkan oleh individu
terhadap individu lain. Peran yang dimainkan individu dalam hidupnya
dipengaruhi oleh persepsi individu terhadap dirinya dan terhadap orang lain.
Oleh sebab itu, untuk dapat berperan dengan baik, diperlukan pemahaman terhadap
peran pribadi dan orang lain. Pemahaman tersebut tidak terbatas pada tindakan,
tetapi pada faktor penentunya, yakni perasaan, persepsi dan sikap. Bermain
peran berusaha membantu individu untuk memahami perannya sendiri dan peran yang
dimainkan orang lain sambil mengerti perasaan, sikap dan nilai yang
mendasarinya.
Bermain peran dalam
pembelajaran merupakan usaha untuk memecahkan masalah melalui peragaan,
serta langkah-langkah identifikasi masalah, analisis, pemeranan, dan diskusi.
Untuk kepentingan tersebut, sejumlah peserta didik bertindak sebagai pemeran
dan yang lainnya sebagai pengamat. Seorang pemeran harus mampu menghayati peran
yang dimainkannya. Melalui peran, peserta didik berinteraksi dengan orang lain
yag juga membawakan peran tertentu sesuai dengan tema yang dipilih.
Selama pembelajaran berlangsung, setiap pemeranan dapat melatih sikap
empati, simpati, rasa benci, marah, senang, dan peran lainnya. Pemeranan
tenggelam dalam peran yang dimainkannya sedangkan pengamat melibatkan dirinya
secara emosional dan berusaha mengidentifikasikan perasaan dengan perasaan yang
tengah bergejolak dan menguasai pemeranan.
Menurut Dr. E. Mulyasa, M.Pd.
(2004:141) terdapat empat asumsi yang mendasari pembelajaran bermain peran
untuk mengembangkan perilaku dan nilai-nilai social, yang kedudukannya sejajar
dengan model-model mengajar lainnya. Keempat asumsi tersebut sebagai berikut:
1)
Secara implisit bermain peran mendukung sustau
situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menitikberatkan isi pelajaran
pada situasi ‘’di sini pada saat ini’’. Model ini percaya bahwa sekelompok
peserta didik dimungkinkan untuk menciptakan analogy mengenai situasi kehidupan
nyata. Tewrhadap analogy yang diwujudkan dalam bermain peran, para peserta
didik dapat menampilkan respons emosional sambil belajar dari respons orang
lain.
2)
Bermain peran memungkinkan para peserta didik
untuk mengungkapkan perasaannya yang tidak dapat dikenal tanpa bercermin pada
orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk mengurangi beban emosional merupakan
tujuan utama dari psikodrama (jenis bermain peran yang lebih menekankan pada
penyembuhan). Namun demikian, terdapat perbedaan penekanan antara bermain peran
dalam konteks pembelajaran dengan psikodrama. Bermain peran dalam konteks
pembelajaran memandang bahwa diskusi setelah pemeranan dan pemeranan itu
sendiri merupakan kegiatan utama dan integral dari pembelajaran; sedangkan
dalam psikodrama, pemeranan dan keterlibatan emosional pengamat itulah yang
paling utama. Perbedaan lainnya, dalam psikodrama bobot emosional lebih ditonjolkan
daripada bobot intelektual, sedangkan pada bermain peran peran keduanya
memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran.
3)
Model bermain peran berasumsi bahwa emosi dan
ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan melalui
proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang tertentu, tetapi bisa
saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan.
Denagn demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain
tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaauntuk
mengembangkan dirinya secara optimal. Dengan demikian, para peserta didik dapat
belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada
gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Oleh
sebab itu, model mengajar ini berusaha mengurangi peran guru yang teralu
mendominasi pembelajaran dalam pendekatan tradisional.
4)
Model bermain peran berasumsi bahwa proses
psikologis yang tersembunyi, berupa sikap, nilai, perasaan dan system
keyakinan, dapat diangkat ke taraf sadar melalui kombinasi pemeranan secara
spontan. Dengan demikian, para pserta didik dapat menguji sikap dan nilainya
yang sesuai dengan orang lain, apakah sikap dan nilai yang dimilikinya perlu
dipertahankan atau diubah. Tanpa bantuan orang lain, para peserta didik sulit
untuk menilai sikap dan nilai yang dimilikinya.
Terdapat tiga hal yang menentukan kualitas dan keefektifan bermain
peran sebagai model pembelajaran, yakni (1) kualitas pemeranan, (2) analisis
dalam diskusi, (3) pandangan peserta didik terhadap peran yang ditampilkan
dibandingkan dengan situasi kehidupan nyata.
Metode Bermain Peran ini dikategorikan sebagai metode mengajar yang
berumpun pada metode perilaku yang diterapkan dalam pengajaran Karakteristiknya
adalah adanya kecenderungan memecahkan tugas belajar dalam sejumlah perilaku
yang berurutan, kongkrit dan dapat diamati. Secara eksplisit dapat dikatakan
bahwa bermain peran dapat ditujukan untuk memecahkan masalah-masalah yang
berhubungan dengan antar manusia (human
relations problems) yang berkaitan dengan kehidupan anak didik.
2.
Jenis
Bermain Peran
Bermain
peran mikro, anak-anak belajar menjadi sutradara, memainkan boneka, dan mainan
berukuran kecil seperti rumah-rumahan, kursi sofa mini, tempat tidur mini
(seperti bermain boneka barbie). Biasanya mereka akan menciptakan percakapan
sendiri. Dalam bermain peran makro, anak berperan menjadi seseorang yang mereka
inginkan. Bisa mama, papa, tante,polisi, sopir, pilot, dan sebagainya.
Saat bermain peran
ini bisa menjadi ajang belajar bagi mereka, baik belajar membaca, berhitung,
mempelajari proses/alur dalam mengerjakan sesuatu, mengenal tata tertib/tata
cara di suatu tempat, yang semua ada dalam kehidupan kita. Tentu saja kita
hanya cukup memberikan informasi sebelum mereka mulai bermain, dan atau lebih
bik kalo kita terlibat dalam permainan tersebut agar kita bisa menggali
imaginasi dan mengenalkan informasi yang ingin kita kenalkan.
Contohnya saja:
Kita ingin mengenalkan tentang Ikan (jenis, bagaimana ikan bisa terhidang di
meja makan, kandungan gizi,profesi halal). Layout tempat bermain peran ini bisa
diatur sedemikian rupa menjadi beberapa tempat yang berfungsi sebagai rumah,
pasar, pantai, jangan lupa selalu sediakan space untuk masjid. Sediakan
peralatan yang mendukung, tentu saja boleh buatan sendiri misal
pancing-pancingan, jala-jalaan, kotak dijadikan sebagai timbangan. Harus ada
uang mainan (tanamkan konsep bahwa agar ikannya halal untuk dimakan harus
dibeli menggunakan uang) Kenalkan proses distribusi mulai dari ikan ditangkap
nelayan, dijual ke pasar ikan, dibeli oleh pembeli dan dimasak oleh ibu (secara
tidak langsung mengenalkan profesi halal). Saat makan, informasikan kandungan
gizi apa saja yang ada dalam ikan. Untuk menuansakan agama, selalu diupayakan
ada adzan di sela-sela mereka bermain, tidak lain membiasakan anak untuk
berhenti bermain, melaksanakan sholat berjamaah, sesudah itu boleh meneruskan
bermain. Pasang tulisan informasi jenis ikan (misal di kotak tempat ikan di
pasar), nama tempat (masjid, pasar ikan, rumah keluarga Amir). Kalo unsur
berhitung, bisa saat menghitung ikan yang ditangkap atau yang dibeli.tentu saja
semua informasi dikenalkan melalui percakapan antar pemain.
3. Tahap-tahap Bermain Peran di Taman
Kanak- Kanak
Menurut Shaftel (1967) mengemukakan sembilan tahap
bermain peran yang dapat dijadikan pedoman dalam pembelajaran:
a.
Menghangatkan suasana dan memotivasi peserta
didik,
b.
Memilih partisipan/peran,
c.
menyusun tahap-tahap peran,
d.
menyiapkan pengamat,
e.
pemeranan,
f.
diskusi dan evaluasi,
g.
pemeranan ulang,
h.
diskusi dan evaluasi tahap dua,
i.
membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan.
Kesembilan tahap tersebut
dijelaskan sebagai berikut. Menghangatkan suasana kelompok termasuk
mengantarkan peserta didik terhadap masalah pembelajaran yang perlu dipelajari.
Hal ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi masalah, menjelaskan masalah,
menafsirkan cerita dan mengeksplorasi isu-isu, serta menjelaskan peran yang
akan dimainkan. Masalah dapat diangkat dari kehidupan peserta didik, agar dapat
merasakan masalah itu hadir dihadapan mereka, dan memiliki hasrat untuk
mengetahui bagaimana masalah yang hangat dan actual, langsung menyangkut
kehidupan peserta didik, menarik dan merangsang rasa ingin tahu peserta didik,
serta memungkinkan berbagai alternative pemecahan. Tahap ini lebih banyak
dimaksudkan untuk memotivasi peserta didik agar tertarik pada masalah karena
itu tahap ini sangat penting dalam bermain peran dan paling menentukan
keberhasilan (abynajwa.blogspot.com diunduh pada tanggal 01 Nopember 2014).
Jadi Bermain peran akan berhasil apabila
peserta didik menaruh minat dan memperhatikan masalah yang diajukan guru.
Memilih peran dalam pembelajaran, tahap ini peserta didik dan guru
mendeskripsikan berbagai watak atau karakter, apa yang mereka suka, bagaimana
mereka merasakan, dan apa yang harus mereka kerjakan, kemudian para peserta
didik diberi kesempatan secara sukarela untuk menjadi pemeran. Jika para
peserta didik tidak menyambut tawaran tersebut, guru dapat menunjuk salah seorang
peserta didik yang pantas dan mampu memerankan posisi tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar