Minggu, 23 November 2014

Sosialisasi melalui permainan kucing dan tikus



A.    Kajian Teori
1.      Pengertian sosialisasi
       Secara konseptual terdapat sejumlah pengertian dan batasan sosialisasi yang dikemukakan oleh para ahli menurut Nasution dalam Idi dan Safarina (2010: 100) menuturkan bahwa sosialisasi merupakan proses bimbingan individu ke dalam dunia sosial. Sosialisasi dilakukan dengan mendidik individu tentang kebudayaan yang harus dimiliki dan diikutinya, agar anak menjadi anggota yang baik dalam masyarakat dan dalam berbagi kelompok khusus, sosialisasi dapat dianggap sama dengan pendidikan.
     Berdasarkan definisi sosialisasi Sebagai makhluk sosial, individu dituntut untuk mampu mengatasi segala permasalahan yang timbul sebagai hasil interaksi dari lingkungan sosial dan mampu menampilkan diri sesuai aturan norma yang berlakuSantoso Soegeng (2006 : 7.3).
     Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tentang sosialisasi menurut Lazarus dalam Ahmadi (2007: 154) mengatakan proses sosialisasi adalah proses akomondasi, dimana individu menghambat atau mengubah impuls-impuls sesuai dengan tekanan lingkungan, dan mengembangkan pola-pola nilai dan tingkah laku yang baru sesuai dengan kebudayaan masyarakat.
     Sedangkan Menurut Masitoh, Setiasih, Djoehaeni (2005: 11) perkembangan sosial adalah perkembangan perilaku anak dalam menyesuakan diri dengan aturan-aturan masyarakat dimana anak-anak itu berada. Perkembangan sosial anak merupakan hasil belajar, bukan hanya sekedar kematangan dan kesempatan belajar dari berbagai respon terhadap dirinya. Bagi anak prasekolah, kegiatan bermain menjadikan fungsi sosial anak semakin berkembang. Tatanan sosial yang baik dan sehat serta dapat membantu anak dalam mengembangkan konsep diri yang positif akan menjadikan perkembangan sosialisasinya akan menjadi lebih optimal.
     Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa sosialisasi adalah proses dimana individu masuk kedalam dunia sosial dan dimana individu mampu bersosialisasi dengan masyarakat sekitar dan mampum menyesuaikan keadaan lingkungan sekitar
2.      Pengembangan Sosial Melalui Tahapan Bermain Sosial
Aktivitas bermain bagi seorang anak memiliki peranan yang cukup besar dalam mengembangkan kecakapan sosialnya sebelum anak mulai berteman. Aktivitas bermain menyiapkan anak dalam menghadapi pengalaman sosialnya. Sikap yang dapat dikembangkan melalui kegiatan bermain, antara lain berikut ini
Nugraha (2006: 1.21) secara umum menyatakan bahwa pengembangan sosial pada anak usia dini adalah:
a.       Sikap sosial
Bermain dapat mendorong anak untuk meninggalkan pola berpikir egosentrisnya. Dalam situasi bermain anak ‘dipaksa’ untuk mempertimbangkan sudut pandang teman  bermainya sehingga anak kurang egosentris. Dalam permainan, anak belajar bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Mereka mempunyai kesempatan untuk belajar menunda kepuasan sendiri selama beberapa menit, misalnya saat menunggu giliran bermain. Sehingga dapat terdorong untuk belajar berbagi, bersaing dengan jujur, menang atau kalah dengan sportif, mempertahankan haknya, dan peduli terhadap hak-hak orang lain. Lebih laijut anak pun akan belajar makna kerja tim dan semangat tim.
b.      Belajar berkomunikasi
Untuk dapat bermain dengan baik bersama orang lain anak harus bisa mengerti dan di mengerti oleh teman-temanya. Hal ini mendorong anak untuk belajar bagaimana berkomunikasi dengan baik, bagaimana membentuk hubungan sosial, bagaimana menghadapi dan memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam hubungan tersebut.
c.       Belajar mengorganisasi
Saat bermain bersama orang lain, anak juga berkesempatan belajar berorganisasi. Bagaimana anak harus melakukan pembagian ‘peran’ di antara mereka yang turut serta dalam permainan tersebut, misalnya siapa yang menjadi guru dan siapa yang menjadi muridnya.
d.      Lebih menghargai orang lain dengan perbedaan-perbedaan
Bermain memungkinkan anak mengembangkan empatinya. Saat bermain dalam sebuah peran, misalnya anak tidak hanya memerankan identitas tokoh, tetapi juga pikiran-pikiran dan perasaan- perasaan tokoh tersebut. Permainan membantu anak membangun pemahaman yang lebih baik atas orang lain, lebih toleran, serta mampu berlapang dada terhadap perbedaan-perbedaan yang dijumpai.
e.       Menghargai harmoni dan kompromi
Saat dunianya semakin luas dan kesempatan berinteraksi semakin sering dan bervariasi maka akan tumbuh kesadaranya akan makna peran sosial, persahabatan, perlunya menjalin hubungan serta perlunya strategi dan diplomasi dalam hubungan orang lain. Anak tidak akan begitu saja merebut mainan teman, misalnya anak tau akan kosekuensi ditinggalkan atau dimusuhi.
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan pengembangan sosial melalui tahapan sosial bahwa saat anak bermain memungkinkan mengembangkan empatinya dan semakin sering berinteraksi dapat menumbuh kembangkan sifat kesadaran anak untuk berbagi dan lebih bisa menghargai dirinya sendiri dan orang lain.
3.      Media Sosialisasi dalam Kehidupan
Menurut Idi (2011: 112), terdapat sejumlah media sosialisasi, yaitu:
a.       Keluarga adalah yang merupakan orang petama yang mengajarkan hal-hal yang berguna bagi perkembangan dan kemajuan hidup manusia adalah anggota keluarga. Orang tua atau keluarga harus menjalankan fungsi sosialisasi.
b.      Teman sepermainan dan sekolah, yang merupakan lingkungan sosial kedua bagi anak setelah keluarga, dalam kelompok ini anak akan menemukan berbagai nilai dan norma yang berbeda bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut dalam keluarga. Melalui lingkungan sekolah dan teman sebaya anak mulai mengenal harga diri, citra diri, dan hasrat pribadi.
c.       Lingkungan bekerja yang merupakan proses sosialisasi selanjutnya. Tempat kerja mulai brorganisasi secara nyata dalam suatu sistem. Sejumlah hal yang perlu dipelajari dalam lingkungan kerja, misalnya bagaimana menyelesaikan pekerjaan, bagaimana bekerja sama dengan bagian lain, dan bagaimana beradaptasi dengan rekan kerja.
d.      Media massa, yang merupakan sarana dalam proses sosialisasi karena media banyak memberikan informasi yang dapat menambah wawasan untuk memahami keberadaan manusia dan berbagai permasalahan yang ada dilingkungan sekitar.
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan pengembangan media sosialisasi dalam kehidupan  keluarga,lingkungan sekolah, lingkungan bekerja dan media massa sangat berperan penting untuk kehidupan manusia karna dapat memberi informasi-informasi yang baru dan dapat menambah wawasan baru yang ada dilingkungan sekitar.

4.      Tahapan pembentukan sosialisasi pada anak
Suyanto (2005:105) berpendapat ada beberapa teori pembentukan sosialisasi yaitu:
a.       Lev Vygotsky menurutnya, interaksi sosial memegang peranan terpenting dalam perkembangan kognitif anak. Anak belajar melalui dua tahapan. Pertama, melalui interaksi dengan orang lain, baik keluarga, teman sebaya, maupun gurunya. Kedua, secara individual anak menginteraksikan apa yang dipelajari dari orang lain kedalam struktur mentalnya.
b.      Albert Bandura dikenal dengan social learning theory (teori belajar sosial). Fokus teori ini ialah bagaimana anak-anak belajar perilaku sosial, seperti bekerja sama, sharing (berbagi), atau perilaku negatif, seperti berkelahi, bertengkar, dan menyerang.
     Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pengembanganinteraksi sosial memegang peranan terpenting dalam perkembangan kognitif anak dan anak sudah mampu untuk bekerja sama, dan anak mampu berinteraksi sesuai dengan pembelajaran yang sudah dipelajari dari lingkungan sekitar.
5.      Adapun beberapa Faktor yang mempengaruhi sosialisasi yaitu:
a.       Sifat dasar merupakan keseluruhan potensi-potensi yang diwarisi seseorang dari ayah dan ibunya. Sifat dasar ini terbentuk pada saat konsepsi, yaitu momen bertemunya sel betinya pada saat pembuahan.
b.      Lingkungan prenatal adalah lingkungan dalam kandungan ibu. Sel telur yang sudah dibuahi pada saat konsepsi itu berkembang sebagai embrio dan fetus dalam lingkungan prenatal itu.
c.       Perbedaan perorangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses sosialisasi. Sejak anak dilahirkan tumbuh dan berkembangsebagai individu yang unik berbeda dari individu- individu yang lain. Anak bersikap selektif terhadap pengaruh-pengaruh dari lingkungan.
d.      Lingkungan alam kondisi-kondisi disekitar individu yang mempengaruhi proses sosialisasi, antara lain sebagai berikut:
1)      Lingkungan alam, yaitu keadaan tanah, iklim, flora dan fauna disekitar individu.
2)      Kebudayaan, yaitu cara hidup masyarakat tempat individu itu hidup kebudayaan ini mempunyai aspek material (rumah perlengkapan hidup, hasil-hasil teknologi lainya) dan aspek non material (nilai-nilai, pandangan hidup, adat istiadat dan sebagainya)
3)      Manusia lain dan masyarakat disekitar individu, pengaruh manusia lain dan masyarakat dapat memberi stimulasi atau membatasi proses sosialisasi.
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi sosialisasi dapat penulis simpulkan bahwa Sejak anak dilahirkan tumbuh dan berkembang sebagai individu yang unikberbeda dari individu- individu yang lain Perbedaan perorangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses sosialisasi.

B.       Bermain Kucing dan Tikus

1.        Bermain dan Permainan Anak Usia dini

Menurut Tadkiroatun Musfiroh (2005: 2) Bermain dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan demi kesenangan dan tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Kegiatan tersebut dilakukan secara suka rela, tanpa paksaan atau tekanan dari pihak luar. (Hurlock, dalam Tadkiroatun Musfiroh 2005: 2)

Walaupun sama-sama mengandung unsur aktivitas, bermain dibedakan dari bekerja. Bekerja merupakan kegiatan yang berorientasi pada hasil akhir, sedangkan bermain tidak. Hasil akhir dalam kegiatan bermain bukanlah sesuatu hal yang penting. Kegiatan dalam bermain menimbulkan kesenagan bagi pelakunya, sedangkan dalam bekerja efek tersebut tidak selalu muncul.
Meskipun definisi bermain dan bekerja dapat dibedakan, tetapi mengklasifikasikan suatu kegiatan ke dalam dua kategori tersebut, bukanlah hal mudah. Artinya, hampir tidak ada satu kegiatan pun yang dapat diklasifikasikan secara eksklusif. Apakah suatu kegiatan termasuk dalam satu kategori tertentu, tidak saja ditentukan oleh kegiatan itu sendiri melainkan juga oleh sikap individu terhadap aktivitas tersebut. Kegiatan menggambar, misalnya, dapat dikategorikan sebagai bermain dan dapat pula dikategorikan sebagai bekerja. Apabila anak melakukannya dengan tujuan kesenangan, maka anak melakukan kegiatan bermain.
Sebaliknya, apabila anak melakukannya dengan tujuan menyelesaikan tugas, maka kegiatan itu tergolong sebagai bekerja. Bermain bagi anak berkaitan dengan peristiwa, situasi, iteraksi, dan aksi. Bermain mengacu pada aktivitas seperti berlaku pura-pura dengan benda, sosiodrama, dan permainan yang beraturan. Bermain berkaitan dengan tiga hal, yakni keikutsertaan dalam kegiatan, aspek afektif, dan orientasi tujuan. Lebih lanjut anak-anak mengatakan bahwa bermain bersifat mana suka, sedangkan bekerja tidak demikian. Bermain dilakukan karena ingin dan bekerja dilakukan karena harus. Bermain berkaitan denagn kata “dapat” dan bekerja berkaitan dengan kata “harus”. Bagi anak-anak, bermain adalah aktivitas yang dilakukan karena ingin, bukan karena harus memenuhi tujuan atau keinginan orang lain. Bermain tidak memerlukan konsentrasi penuh, tidak memerlukan pemikiran yang rumit. Sebaliknya, bekerja menuntut konsentrasi penuh, harus belajar, dan menggunakan pikiran secara tercurah. Anak juga memandang bermain sebagai kegiatan yang tidak memiliki target. Mereka dapat saja meninggalkan kegiatan bermainkapan pun mereka mau, dan sebaliknya, bekerja memiliki target. Mereka dapat saja meninggalkan kegiatan bermain kapan pun mereka mau, dan sebaliknya, bekerja memiliki target, harus diselesaikan, dan tidak dapat berbuat sekehendak hati. Bagi mereka, bermain adalah kebutuhan sedangkan bekerja adalah sebuah keharusan. (Wing, dalam Tadkiroatun Musfiroh 2005: 4 ).
Menurut Montolalu, dkk (2009: 1.2) dunia anak adalah dunia bermain. Bermain terungkap dalam berbagai bentuk apabila anak-anak sedang beraktifitas. Dalam kehidupan anak, bermain mempunyai arti yang sangat penting. Dapat di katakana bahwa setiap anak yang sehat selalu mempunyai dorongan untuk bermain sehingga dapat dipastikan bahwa anak yang tidak bermain-main pada umumnya dalam keadaan sakit, jasmaniah ataupun rohaniah.
Menurut Sofia Hartati, (2005: 85) mengemukakan bermain adalah sebuah sarana yang dapat mengembangkan anak secara optimal. Sebab bermain berfungsi sebagai kekuatan, pengaruh terhadap perkembangan, dan lewat bermain pula didapat pengalaman yang penting dalam dunia anak. Hal inilah yang menjadi dasar dari inti pembelajaran pada anak usia dini.
Sedangkan menurut Moeslichatun (2004: 32) bermain juga merupakan tuntutan dan kebutuhan yang esensial bagi anak TK. Melalui bermain anak akan dapat memuaskan tuntutan dan kebutuhan perkembangan dimensi motorik, kognitif, kretivitas, bahasa, emosi, sosial, nilai, dan sikap hidup.

Menurut Hidayatullah (2008: 5) permainan adalah berbagai bentuk kompetisi bermain penuh yang hasilnya ditentukan oleh: keterampilan fisik, strategi, atau kesempatan, dan yang dilakukan secara perorangan atau gabungan (Mcpherson dalam Hidayatullah 2008: 5).
Seperti halnya bermain, permainan biasanya bersifat terstruktur dan memiliki hasil yang dapat diprediksi. Anak bermain permainan dalam fikirannya memiliki tujuan tertentu. Anak tidak memiliki kebebasan yang luas untuk mengikuti gerak hati dan lebih terbatas karena perilakunya menjadi bagian untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Di dalam permainan, anak meletakkan keterbatasan-keterbatasan pada dunia bermain dan mengubah bermain menjadi suatu pertunjukkan kontes (contest).
Batasan-batasannya meliputi batas-batas tempat dan waktu, mengikuti aturan, dan tujuan-tujuan yang dinyatakan dengan jelas. Permainan dimainkan dengan membutuhkan banyak keterikatan dan banyak energy, lebih kuat dan serius daripada bermain, dan lebih memungkinkan memberikan penghargaan terhadap pemenuhan dan keberhasilan. Oleh karena itu, permainan dapat didefinisikan sebagai aktifitas yang dibatasi oleh aturan-aturan yang lengkap dan terdapat suatu kontes di antara para pemain agar supaya menghasilkan hasil yang dapat diprediksi. Dengan kata lain bahwa permainan adalah kontes sukarela yang didasari peraturan dan tujuan-tujuan yang dinyatakan dengan jelas. Morris, dkk (dalam Hidayatullah 2008: 5).
2.        Perkembangan Bermain

Mildred Partten (dalam Tedjasaputra, 2001: 21-23) menyoroti kegiatan bermain sebagai sarana sosialisasi dan mengamati ada enam bentuk interaksi antar anak yang terjadi saat mereka bermain. Pada keenam bentuk kegiatan bermain tersebut terlihat adanya peningkatan kadar interaksi sosial, mulai dari kegiatan bermain sendiri sampai bermain bersama. Tahapan perkembangan bermain yang mencerminkan tingkat perkembangan sosial anak adalah sebagai berikut:

a.  Unoccuppied Play (tidak benar-benar terlibat dalam kegiatan  bermain)

b.      Solitary Play (bermain sendiri)

c.      Onlooker Play (pengamat)

d.     Paralel Play (bermain parallel).

e.      Assosiative Play (bermain asosiatif).
f.       Cooperative Play (bermain bersama)

Cooperative Play atau bermain bersama, ditandai dengan adanya kerjasama atau pembagian tugas antara anak-anak yang terlibat dalam permainan untuk mencapai satu tujuan tertentu. Misalnya bermain dokter-dokteran. Kegiatan bermain bersama teman sebenarnya merupakan sarana untuk anak bersosialisasi atau bergaul serta berbaur dengan orang lain. Dari beberapa perkembangan bermain, peneliti akan menggunakan salah satu perkembangan yaitu bermain bersama (cooperative play).

Dalam tahapan perkembangan bermain anak, peneliti hanya akan menggunakan salah satu tahapan perkembangan bermain yaitu bermain bersama (cooperative play).
Menurut Catron dan Allen (dalam Mutiah, 2010: 149) aspek-aspek perkembangan bermain yakni meningkatkan kompetensi sosial, bermain mendukung perkembangan sosialisasi dalam hal-hal berikut:

a.    Interaksi sosial, yakni interaksi dengan teman sebaya, orang dewasa, dan memecahkan konflik.
b.    Kerjasama, yakni interaksi saling membantu, saling berbagi, dan pola bergiliran.

c.    Menghemat sumber daya, yakni menggunakan dan menjaga benda-benda dan lingkungan secara tepat.
d.   Perduli terhadap orang lain, seperti memahami dan menerima pebedaan individu, memahami masalah multi budaya.

3.        Fungsi Bermain
Menurut Moeslichatoen (2004: 33) fungsi bermain bagi anak TK sesuai dengan pengertian bermain yang merupakan tuntutan dan kebutuhan bagi perkembangan anak usia TK, menurut Hartley, Frank dan Goldenson (dalam Moeslichatun 2004: 33) ada 8 fungsi bermain bagi anak:
a.         Menirukan apa yang dilakukan oleh oaring dewasa. Contohnya, meniru Menirukan apa yang dilakukan oleh orang dewasa. Contohnya, meniru ibu memasak di dapur, dokter mengobati orang sakit, dan sebagainya.
b.         Untuk melakukan berbagai peran yang ada di dalam kehidupan nyata seperti guru mengajar di kelas, sopir mengendarai bus, petani menggarap sawah, dan sebagainya.
c.         Untuk mencerminkan hubungan dalam keluarga dan pengalaman hidup yang nyata. Contohnya ibu memandikan adik, ayah membaca Koran, kakak mengerjakan tugas sekolah, dan sebagainya.
d.        Untuk menyalurkan perasaan yang kuat seperti memukul-mukul kaleng, menepuk-nepuk air, dan sebagainya.

e.         Untuk melepaskan dorongan-dorongan yang tidak dapat diterima seperti berperan sebagai pencuri, menjadi anak nakal, pelanggar lalu lintas, dan lain-lain.
f.          Untuk kilas balik peran-peran yang biasa dilakukan seperti gosok gigi, sarapan pagi, naik angkutan kota, dan sebagainya.
g.         Mencerminkan pertumbuhan seperti pertumbuhan misalnya semakin bertambah tinggi tubuhnya, semakin gemuk badannya, dan semakin dapat berlari cepat.
h.         Untuk memecahkan masalah dan mencoba berbagai penyelesaian masalah seperti menghias ruangan, menyiapkan jamuan makan, pesta ulang tahun.
Menurut  Hetherington & Parke di atas, Dworetsky (dalam Moeslichatun 2004: 34) juga mengemukakan bahwa fungsi bermain dan interaksi dalam permainan mempunyai peran penting bagi perkembangan kognitif dan sosial anak. Fungsi bermain tidak saja dapat meningkatkan perkembangan kognitif dan sosial, tetapi juga perkembangan bahasa, disiplin, perkembangan moral, kreatifitas, dan perkembangan fisik anak.
Beberapa fungsi bermain yang lain akan dibicarakan di bawah ini:

a.         Mempertahankan Keseimbangan

Kegiatan bermain dapat membantu penyaluran kelebihan tenaga. Setelah melakukan kegiatan bermain anak memperoleh keseimbangan antara kegiatan dengan menggunakan kekuatan tenaga dan kegiatan yang memerlukan ketenagaan. Bermain juga memberikan penyaluran dorongan emosi secara aman, misalnya melepaskan dorongan-dorongan yang tidak dapat diterima dalam kehidupan nyata. Dalam situasi bermain anak dapat berkhayal mejadi seorang presiden, seorang polisi, sopir, ayah/ibu, bahkan menjadi pencuri, pemberontak, dan sebagainya.
b.         Menghayati Berbagai Pengalaman yang Diperoleh dari Kehidupan.
 Sehari-hari Anak yang bermain seolah-olah ia sedang dalam perjalanan kereta api atau melakukan jual beli, atau sedang menyuntik pasien, mengatur meja makan, atau membersihkan rumah, adalah kegiatan bermain yang didasarkan pada penghayatan terhadap peristiwa-peristiwa yang dialaminya dalam kehidupan sehari-hari.

c.         Mengantisipasi Peran yang Akan Dijalani di Masa yang Akan Datang
Meskipun anak berpura-pura memerankan seorang ibu/ayah, perawat, atau sopir truk, namun sebenarnya kegiatan tersebut merupakan upaya untuk mempersiapkan anak melaksanakan peran tersebut kelak..
d.        Menyempurnakan Keterampilan-keterampilan yang Dipelajari
Anak TK merupakan pribadi yang sedang tumbuh. Dengan demikian anak selalu berusaha menggunakan kekuatan tubuhnya. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan geraknya.
e.         Menyempurnakan Keterampilan Memecahkan Masalah
Masalah yang dihadapi oleh anak sehari-hari dapat bersifat masalah emosional, sosial, maupun intelektual. Anak dapat menggunakan kegiatan bermain sebagai sarana untuk memecahkan persoalan intelektualnya.
f.          Meningkatkan Keterampilan Berhubungan dengan Anak Lain
Melalui kegiatan bermain anak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan keterampilan bergaulnya seperti bagaimana menghindari pertentangan dengan teman, bagaimana tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, berbagi kesempatan menuntut hak dengan cara yang dapat diterima, mengkomunikasikan keinginan, dan bagaimana caranya mengungkapkan perasaan serta kebutuhannya.

4.        Bermain Kucing dan Tikus
Menurut Montolalu (2009: 4.35) bermain Kucing dan Tikus salah satu permainan yang dilakukan secara berkelompok yang sifatnya tidak terlalu formal. Dalam permainan ini, anak dibantu untuk menyesuaikan diri, mengetahui perasaan dalam satu kelompok dan tiap anak harus ikut aktif. Melalui bermain, anak akan semakin mahir bersosialisasi dengan orang lain dan teman-teman sebayanya.
Dalam bermain Kucing dan Tikus termasuk permainan yang memerlukan kerjasama di antara para pemain dalam mengikuti dan menaati peraturan yang tegas dan prilaku-perilaku bermain-permainan (game-play behaviors) yang lengkap.
5.        Tujuan Bermain Kucing dan Tikus
Menurut Montolalu, dkk (2009: 4.35) mengatakan bermain Kucing dan Tikus bertujuan:
a.    Anak mengetahui peraturan permainan yang harus ditaati.

b.    Anak belajar menyesuaikan diri dengan orang lain.

c.    Mulai memikirkan strategi bermain.

Dalam membina hubungan dalam kelompok anak belajar untuk dapat berperan serta, dan meningkatkan hubungan kelompok, meningkatkan hubungan antarpribadi, mengenal identitas kelompok, dan belajar bekerja dalam kelompok. Di samping itu, anak belajar untuk mengikuti jadwal dan pola kegiatan sehari-hari, mengadaptasi dengan hal-hal rutin sekolah, serta mengenal peraturan dan pengharapan sekolah (Moeslichatun, 2004: 23).

Dalam kegiatan bermain kerjasama, anak-anak akan terlibat di dalam kegiatan bermain bersama teman yang ditandai oleh kerjasama. Terjadi pembagian tugas atau pembagian peran diantara mereka untuk mencapai suatu tujuan (Rini Hildayani, 2008: 4.14).
6.        Macam-macam Cara Bermain Kucing dan Tikus
Menurut Bambang Sujiono (2009: 10.6) anak-anak dijadikan dua kelompok, salah satu kelompok membuat lingkaran sambil berpegangan tangan, sedangkan kelompok yang lainnyamenjadi tikusnya. Kemudian, tunjukklah seorang untuk menjadi kucingnya. Anak-anak yang menjadi tikus berada di dalam lingkaran. Apabila ada tanda mulai atau bunyi peluit maka segera kucing mengejar tikus dan tikus lari menyelamatkan diri agar tidak tertangkap oleh kucing. Apabila ada tikus tertangkap maka harus menjadi kucing dan yang tadi menjadi kucing bertukar menjadi tikus. Setelah 5 sampai 10 menit, anak-anak berganti kelompok, yang menjadi tikus membuat lingkaran, dan yang tadinya menjadi lingkaran berubah menjadi kucing dan tikus.
Menurut Hidayatullah (2008: 22) menjelaskan ada 5 macam cara dalam bermain kucing dan tikus yaitu:

1)      Kucing dan Tikus I

Dalam bangsal senam atau pada tempat terbatas lain yang cukup luasnya. Salah satu anak ditunjuk sebagai kucing. Anak-anak yang lain menjadi tikus dan bergerak bebas dalam tempat itu. Dengan bunyi peluit guru, kucing mulai mengejar-ngejar tikus-tikus itu. Setelah ada 3, atau sejumlah lain yang ditetapkan tertangkap, tikus yang tertangkap pertama menjadi kucing. Tikus yang lari keluar batas karena takut tertangkap, dianggap sebagai tertangkap.
Catatan:

 (1). Ada baiknya kucing pada permulaan ditempatkan pada salah satu sudut gelanggang.
(2). Jika jumlah anak terlalu banyak dibuatkan 2 buah gelanggang, kucing gelanggang I dan kucing gelanggang II dahulu-mendahului menangkap jumlah Tikus yang telah ditetapkan.
(3). Kucing yang lemah (kecil, betina) harus diganti, biar pun belum dapat menangkap tikus.
2)      Kucing dan Tikus II (dalam lingkaran)

Dua pertiga jumlah anak membuat lingkaran. Mereka berdiri biasa, tangan kebawah. Seorang anak dari yang sepertiga menjadi kucing dan berdiri dulu diluar lingkaran. Dengan tepuk tangan guru, kucing mulai mengejar-ngejar tikus. Baik kucing maupun tikus bebas keluar lingkaran. Tikus yang lari lebih dari jarak 5 m dari lingkaran dianggap sebagai tertangkap. Tikus yang tertangkap menjadi kucing dan kucing menjadi tikus. Sesudah 1/3 waktu yang disediakan untuk permainan itu berakhir, kelompok baru (1/3 yang lain) ber”aksi, hingga semua anak mendapat giliran sebagai tikus atau kucing.

3)      Kucing dan Tikus III

Seperti Kucing dan Tikus II, hanya anak-anak yang merupakan lingkaran (berposisi melingkar) berpegangan tangan. Baik kucing maupun tikus tidak boleh dirintangi.
4)      Kucing dan Tikus IV

 (1). Seperti Kucing dan Tikus II , akan tetapi sekarang lingkaran boleh merintangi dengan jalan membungkukkan badan, hingga tangan dan lengan menjadi rendah sekali. Lingkaran bebas untuk merintangi kucing dan tikus.
(2). Dapat juga ditetapkan yang boleh dirintang hanya sikucing.
5)      Kucing dan Tikus V
Dalam bangsal senam atau lapangan terbatas, disediakan beberapa simpai dari rotan atau bambu. Di bangsal berubin cukup diberi lingkaran dengan kapur. Lingkaran-lingkaran itu merupakan tempat perlindungan bagi tikus dan hanya dapat dipergunakan oleh satu tikus. Jika tempat perlindungan itu berisikan dua atau lebih, maka yang berhak atas perlindungan itu adalah yang terakhir memasukinya. Jalan permainan seperti Kucing dan Tikus I. Tikus yang berlindung tidak boleh ditangkap.
Dari macam-macam cara bermain Kucing dan Tikus peneliti hanya menggunakan cara bermain menurut Hidayatullah (2008: 22) yaitu cara bermain Kucing dan Tikus III, Kucing dan Tikus IV, dan Kucing dan Tikus V yang menitikberatkan indikator dapat bergabung, terlibat aktif dan dapat membina hubungan dengan teman dalam permainan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TANYA UT